Tertatih menapakkan jejak. Kadang tak kuasa mengelak akan duri yang beranak pinak. Menusuk, patah, dan membusuk, kemudian tertawar sendiri dalam gerak. Hingga muak. Bahkan tak ada rasa yang berbisa. Semua menjadi biasa. Doa doa itu meski belum sampai pada pencipta, tak salah pula selalu ku tumpahkan. Hingga mengambangkan duri di lautan dalam. Tak lagi langkah terhenti dan tertanam. Mendayung sampan kehangatan.
Kupikir dengan sampan akan sampai dengan aman. Ternyata tidak. Ombak pula
semakin garang. Menghantam, menghempas, hingga gelombang kandas pada karang.
Sampanku tak boleh patah. Sebab kini aku tak sendiri mengarungi peradaban. Ada
banyak teman yang menguatkan. Teman sepanjang jalan kehidupan pun tak boleh
tertinggalkan. Bersampan di lautan. Kuat dan menghangatkan. Meski banyak pula
yang harus berpulang. Memulangkan derita, memulangkan cerita, hingga
memulangkan air mata. Air mata yang seketika asin dan menerbitkan tawa. Entah
itu bahagia atau sebaliknya. Sampan ku kayuh, tak boleh mengeluh. Entah di mana
ujung laut ini hendak di tempuh, biarlah usaha yang beriring doa menjadi obat
luka ampuh. Boleh jadi seketika pintu yang berjendela tertemukan saat
tersimpuh, di tengah sana. Bersama matahari yang meronakan senja. Kita
mengumandangkan adzan, berdoa, dan berkumpul berteman cahaya rembulan malam,
bersama gembira beriring irama malam.
Jangan berhenti, tak boleh pasrah. Hidup tak boleh menyerah. Meski jendela
patah dan berlipat tak henti, jadikan tangga menuju awan, di atas sampan, di
tengah sana bersama matahari yang beraroma jingga. Aku tunggu.
--
Tanggal ini, 14 tahun lalu aku, emak, ayah, bersama keluarga besar sedang
dalam perjalanan untuk menghalalkanmu di Kota Langsa. Esok pagi, adalah hari 14
tahun lalu kita duduk di pelaminan.
Ah, pandai nian kau mengurus anak-anakku ditambah aku yang semakin hari
selalu kekanak-kanakan. Sungguh!
Kisaran, 03 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar