Anak kami, Alul,
bulan Juli tahun ini akan masuk sekolah jenjang SMP. Ia baru saja menamatkan
pendidikannya di SDIT Ar Roja Kisaran. Tamat tanpa ujian nasional, dan tamat
dimasa pandemi covid 19. Orang-orang bilang generasi yang tamat tahun 2020 dan
tahun 2021, termasuk yang beruntung, atau mungkin pula sebaliknya. Sebab beruntung
tak mengikuti ujian nasional yang menjadi momok bagi sebagian besar siswa di
Indonesia juga para orang tua. Sebab bila tak lulus dengan nilai yang sudah
ditentukan sudah barang tentu dinyatakan pula tak lulus dari SD, atau SMP, pua
SMA.
Keberuntungan
juga, sudah 2 tahun ini, indikator kelulusan tak terlalu ketat. Yang penting
anak memenuhi tugas-tugas yang diberikan, mengumpulkan ke sekolah, dan
tugas-tugas lainnya, tentu sudah dipastikan anak akan naik kelas dan pada
jenjang akhir akan dapat tamat sekolah. Inilah sekolah di masa pandemi.
Kerugiannya,
ilmu yang didapat dari sekolah tak maksimal. Maksimal dalam artian selama ini
mereka berteman, mendapatkan contoh tauladan dari guru bila di sekolah, dan
aneka aktivitas lainnya, itu tak di dapatkan lagi. Sebab, pembelajaran dari
rumah saja. Melalui teknologi. Sudah berjalan tahun ke dua. Itulah sekolah di
masa pandemi. Semua wajib beradaptasi.
Untungnya,
di lingkungan rumah kami yang tak jauh dari masjid, ada program yang dibuat
oleh pengurus untuk memberdayakan anak-anak usia sekolah. Salah satunya mendirikan
sekolah tahfidz gratis yang diajari oleh siswa sekolah Aliyah, pelatihan tapak
suci, dan adanya ikatan pelajar Muhammadiyah. Semuanya dalam naungan
Muhammadiyah Ranting Siumbut-umbut. Dilaksanakan di masjid.
Meski belajar
dari rumah saja, Alul, dan adiknya Kahfi, dapat mengikuti sekolah tahfidz dan
tapak suci di lapangan masjid. Tentu saja, mereka punya teman yang banyak. Mereka
juga tak mau ketinggalan, bila aku sedang ikut kajian yang dilaksanakan ranting
Muhammadiyah Siumbut-umbut setiap malam Sabtu.
Sementara di
Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Alul juga terlibat sebagai anggota pengurus. Otomatis,
dalam sejumlah aktivitas ia juga menjadi panitia kegiatan. Misalnya pengajian
saban malam rabu, dan aktivitas menyambut ramadan kemaren Alul dan
kawan-kawannya melaksanakan agenda besar. Khitanan massal. Dikelola oleh
anak-anak sekolah, acara berjalan dengan lancar, tak ada masalah. Ada 23 anak
yang dikhitan secara gratis. Masya Allah. Dan Alul, satu-satunya siswa SD yang
terlibat aktif dalam kepanitiaan. Sisanya sudah siswa SMA dan Aliyah.

Nah, efek
dari bergabung dengan IPM, ia terkontaminasi. Suatu hari di bulan Januari 2021,
saaat pulang ke rumah pasca kegiatan di masjid, ia menyampaikan keinginannya. Sudah
menentukan pilihan katanya. Untuk melanjutkan sekolah tingkat SMP di MTs
Muhammadiyah 3 saja. Kenapa gitu? katanya ga papa, sudah ga mau pilih lainnya
lagi. Awalnya, kami sempat menawarkan untuk sekolah di Langsa saja, tempat
neneknya. Bahkan sudah menjajaki, melihat, dan mendapatkan informasi sekolah di
sana. Usut punya usut, ternyata kawan-kawan Alul yang aktif di IPM, sebagian
besar alumni dari MTs tersebut. Melihat kemampuan mereka berbicara, mengaji,
dan lain sebagainya, serta provokasi ketua IPMnya, maka Alul sudah bulat menentukan
pilhan hanya di MTs Muhammadiyah 3 Kisaran.
Pilihan
sudah ditentukan. Tugas kami sebagai orang tua tentu mencari informasi
sebaik-baiknya terkait sekolah. Meski kenal dengan sejumlah gurunya, tentu saja
ia harus melanjutkan sekolah setidaknya yang punya program menghafal alqur’an,
yang guru dan siswanya berpakaian syar’i, seperti di sekolah dasar sebelumnya.
Bilapun tak mendekati, setidaknya ia bertemu dengan teman-teman yang baik pula.
Kami yakin hal itu dapat ditemukan di sekolah yang akan ditujunya. Bilapun tak
semua ditemukan, maka sudah tugas kami orang tua menjadi wajib mengajarkan yang
lebih baik lagi. Bukankah aku, ayahnya dulu juga alumni sekolah Muhammadiyah di
Kisaran juga.
Alhamdulillah.